Warna jingga di langit
senja mulai mewarnai hari-hari Syifa dalam lamunannya. Hanya bisa duduk manis
di balik jendela kamarnya yang masih terbuka. Udara sejuk sore hari itu
menyelusup memasuki kamarnya. Kamar gadis cantik yang masih terlelap dalam
angan dan pemikirannya sendiri.
Dalam
kesunyiannya dengan perlahan ia mulai tersadar dari khayalannya. Melirik ke
sebuah benda yang tersimpan rapi dipojok kamarnya. Perlahan tapi pasti ia
berusaha meraih benda itu dengan satu tangannya. Setelah dapat ia keluarkan
benda itu dari tempatnya yang sudah mulai berdebu.
Sebuah
biola sederhana yang ia miliki sejak ia duduk di bangku sekolah menengah
pertama tiga tahun lalu. Awal ia mulai menyukai musik dan alunan melodi indah
yang tercipta dari sebuah alat musik menarik itu. Tak butuh waktu lama alunan
indah yang tercipta dari biola itu menghanyutkannya.
“ You would not believe your
eyes. If ten million fireflies lit up the world as I fell asleep. Cause they
fill the open air and leave tear drops everywhere. You’d think me rude but I
would just stand and stare.” Dan Syifa pun mulai menyanyi sendiri diiringi alunan nada
dari permainan biolanya.
Tak
lama pintu kamarnya terbuka. Seorang wanita separuh baya menatapnya. Seketika
itu permainan Syifa berhenti. Tatapannya beralih ke ambang pintu kamarnya yang
terbuka.
“
Mau mama siapin makan malam sekarang sayang?” Ucap wanita separuh baya itu.
“
Nanti aja bareng sama mama.” Sahut Syifa dari tempat ia duduk.
Wanita
separuh baya itu perlahan mendekat. “ Besok jadi mau main sama Alta?”
Gadis
itu mengangguk. “ Tadi dia udah telpon aku. Besok jam tiga dia mau jemput aku.”
Wanita separuh baya itu ikut
mengangguk. Dibelainya rambut hitam panjang milik anaknya tersayang. Seketika
itu wajahnya muram sambil menatap anaknya yang terduduk di kursi. Ada sebuah rasa yang
mati-matian wanita itu sembunyikan dari anaknya. Tapi ia tahu usahanya sia-sia.
“
Mama jangan sedih begitu. Aku baik-baik aja.” Sahut anaknya seakan bisa membaca
ekspresi di wajah orangtuanya.
“
Kalau ada yang bisa mama lakukan untuk kamu.” Suaranya mulai parau. “ Apapun
itu untuk buat kamu selalu merasa senang.”
Syifa
tersenyum, “ Selama mama ada di samping aku, aku akan selalu merasa seneng.
Karena cuma mama yang ngerti aku.”
Satu
pelukkan mengakhiri percakapan itu. Perlahan wanita separuh baya itu
meninggalkan kamar anak gadisnya dengan setetes air mata yang berusaha ia
sembunyikan. Dalam kediamannya Syifa sama sedihnya dengan mamanya. Tapi ia tahu
kalau ia sedih mamanya pasti lebih sedih darinya.
* * *
Tepat pukul tiga sore seperti janji yang sudah disepakati
sebelumnya. Alta atau bisa di sebut sebagai teman setia Syifa sejak awal SMP
berjanji untuk menemani Syifa menghabiskan sisa sorenya hari ini.
“ Hai, sorry lama ya?” Sapa Cowok bertubuh kurus itu pada
Syifa
“ Nggak kok. Kan
emang jam tiga kemarin bilangnya.” Sahut Syifa tidak lupa dengan senyum manis
di wajahnya.
“ Biolanya mana?” Tanya Alta.
“ Ada di belakangku. Taruh disini aja.” Syifa menunjuk kearah pangkuannya.
Segera
Alta berputar menuju belakang kursi Syifa dan mengambil sebuah biola yang
tergeletak di sana. Ia letakkan perlahan pada pangkuan Syifa. Sesaat ia melihat
berkeliling mencari seseorang yang mungkin bisa ia pamiti sebelum mereka pergi.
“
Orangtuamu kemana?”
“
Ada mama mungkin dibelakang. Nggak apa-apa aku udah pamit tadi. Kita jalan
sekarang aja.”
Alta
mengangguk mengerti. Perlahan ia kembali memutar kebagian belakang dan berdiri
tepat dibelakang kursi yang Syifa duduki atau lebih tepat dengan sebuah kursi
roda. Perlahan Alta mendorongnya keluar melewati pintu rumah kemudian pintu
pagarnya. Hingga
sinar matahari yang masih cukup terik langsung menyambut mereka berdua.
Selama perjalanan mereka hanya diam. Syifa menikmati pemandangan yang
menyejukkan mata. Setidaknya bisa menghilangkan sedikit rasa bosannya dengan rumah.
Langkah Alta pun terhenti ketika mereka sudah tiba di sebuah gedung yang tidak
terlalu besar dan tak jauh dari rumah.
“
Masuk ya?” Alta bergumam.
“
Kenapa Alta?” Syifa heran melihat tingkah Alta yang tidak juga masuk kedalam
gedung yang sudah berada tepat dihadapan mereka.
“ Hm, nggak apa-apa kok.”
Perlahan Alta mulai mendorong kursi rodanya lagi melewati pintu yang
terbuka lebar. Seketika itu juga pandangan berubah. Di hadapan mereka sudah
berdiri sekitar dua puluh orang yang semuanya membawa alat musiknya
masing-masing.
“ Wah, rame ya Alta.” Seru
Syifa girang melihat banyak orang di ruangan itu.
“ Iya kan
lagi libur jadi banyak yang latihan.” Sahut Alta.
Sampailah mereka di kursi peserta. Alta memberhentikan Syifa sedikit
kebelakang takut mengganggu jalan pikir Alta. Setelah ia merasa aman ia
berjalan menjauhi Syifa dan mulai berkumpul dengan teman-temannya yang lain.
“
Lo bawa siapa?” Tanya seorang teman Alta
“ Itu temen gue. Syifa
namanya. Dia mau ikut latihan disini.”
Serentak mata-mata yang penasaran itu langsung menatap ke
arah Syifa. Seketika itu Syifa merasa gugup karena diperhatikan oleh hampir
sebagian orang yang berada di ruangan. Dengan agak kaku Syifa membalas tatapan
mereka dengan senyum.
“ Dia mau ikut? Dengan keadaan dia kayak gitu emang
bisa?”
“ Kenapa nggak? Dia cuma nggak bisa jalan. Tapi kedua tangannya masih lengkap.” Sahut Alta sedikit
sewot. “ Lagipula permainan dia lebih baik daripada kalian.”
Serentak
semua yang mendengar perkataan Alta tertawa. Sambil sesekali mereka melirik
sinis pada Syifa yang terduduk di kursi rodanya yang agak jauh dibelakang. Entah hanya sebuah
spontanitas atau memang niatan orang-orang itu untuk meledek. Satu dari mereka
berjalan mendekati Syifa.
“
Lo mau ikut di sini? Kayaknya pelatih harus siapin tempat khusus buat lo.”
“ Kenapa harus khusus?”
“
Karena lo beda dari yang lain.” Ucapnya sambil melirik ke arah kaki Syifa.
Syifa yang mulai sadar dengan perlakuan salah satu teman Alta mulai merasa
rendah. Seakan ia mulai sadar bahwa ia memang tidak pantas berada di sini. Di
tempat yang hanya berisi orang-orang yang berpenampilan luar biasa dengan
kesempurnaan dan talentanya, tidak untuk dirinya.
“ Jangan didenger Syifa.
Mereka cuma takut tersaingi sama kamu.” Alta menengahi.
Untung saja pelatih musik
segera datang dan setidaknya mencegah terjadinya perkelahian antar siswa.
Seketika itu juga suasana langsung mencair ketika pelatih mulai memberikan instruksi
yang bertanda latihan akan segera dimulai.
Satu persatu siswa mulai mencoba memainkan lagu
menggunakan alat musik mereka masing-masing termasuk Syifa siswa baru di
ruangan itu. Setelah semua mendapat giliran pelatih memerintahkan mereka untuk
memainkannya bersama. Hingga waktu menunjukkan pukul lima sore latihan itupun dihentikan.
“ Saya senang ada teman baru kita yang sangat berbakat.”
Ucap bu Alinda pelatih khusus biola. “ Semoga Syifa betah disini dan bisa
menjadi pemain biola yang semakin hebat.”
“ Iya bu. Terima kasih.”
* * *
Di waktu senja yang manis Syifa terduduk di kursinya
memandang ke langit lepas. Matahari sudah mulai meredupkan sinarnya dan beralih
dengan bulan. Angin dingin juga sudah mulai menyelimutinya ditemani teman
setianya Alta.
“
Bulannya mulai muncul tuh.” Seru Syifa sambil menunjuk ke atas
“
Iya, tapi nggak ada bintangnya.”
“
Hahaha.. aku nggak berharap ada bintang Alta. Aku berharap ada keajaiban.”
Sontak
Alta menoleh pada gadis di sampingnya. “ Keajaiban untuk apa?”
“
Keajaiban aku bisa menari-nari bareng kunang-kunang.”
Alta
terdiam. Ia menatap Syifa dengan sedikit lesu. Andai ada yang bisa ia lakukan
untuk membuatnya merasa lebih baik. Kecelakaan yang menimpa Syifa beberapa
tahun yang lalu membuat gadis itu tidak bisa melangkahkan kakinya lagi di jalan
aspal yang berdebu ataupun rerumputan hijau yang basah karena embun.
“
Syifa, kamu suka kunang-kunang?”
“
Iya, walau aku belum pernah melihatnya secara langsung.”
“
Gimana kamu bisa suka kunang-kunang padahal belum pernah liat?” Alta sedikit
bingung.
Syifa
hanya tertawa senang. Tatapannya beralih pada langit gelap “ Kamu liat langitnya? Itu gelap banget kan
ya? Kalau bintang itu nggak ada tapi ada kunang-kunang yang menari-nari di atas
sana apa langitnya akan tetep segelap itu?”
Alta
menatap gadis yang berada disampingnya. “ Mungkin nggak. Tapi di sini kan nggak
ada kunang-kunang jadi tetep gelap.”
Syifa
mengangguk. “ Kalau gitu aku nggak akan bisa nari bareng mereka.”
Walau rasanya begitu sakit
mendengar kata-kata Syifa. Entah kenapa rasanya tidak enak sekali ketika Syifa
terus menerus mengatakan hal yang sepertinya tidak mungkin ia lakukan sekarang
dan suatu saat nanti.
“ Mau mainin sebuah lagu nggak?” Tiba-tiba Syifa sudah
bersiap dengan biola ditangannya.
“ Lagu apa?”
“ Lagu yang selalu buat aku merasa ada harapan dan
keajaiban.” Ucap Syifa kemudian ia mulai memainkan lagu.
Irama lembut dari senar-senar biola yang digesek menggema
disekeliling mereka berdua. Entah sudah berapa puluh bahkan ratusan kali Syifa
memainkan lagu ini sendiri dalam kamarnya. Sambil terus memainkan biolanya ia
bernyanyi..
“ Cause I’d get a thousand hugs from ten thousand
lightning bugs. As they tried to teach me how to dance. A foxtrot above my
head. A sock hop beneath my bed. The disco ball is just hanging by a thread.
I’d like to make myself believe that planet Earth turns slowly. It’s hard to
say that I’d rather stay awake when I’m asleep. Cause everything is never as it
seems.”
* * *
“ Sedikit hiburan untuk
kamu.” Ucap wanita separuh baya, mama Syifa.
Gadis cantik yang berada
disisinya masih terdiam. Dalam hati ingin sekali mengikuti saran orangtuanya
untuk sekedar melihat dunia luar yang belum pernah ia lihat. Tapi satu sisi
juga ia merasa ia tidak sanggup untuk melakukannya sekarang.
“ Tapi, bukannya nanti
aku cuma buat susah Alta aja?”
“ Kenapa harus susah?”
“ Iya, karena aku begini.” Ucap
Syifa sambil merunduk.
“ Jangan selalu merendahkan
diri kamu sayang. Kamu kuat kan?
Kamu hebat.”
Pada akhirnya Syifa bisa
tersenyum walau agak sulit tapi sedikit ada rasa yang mendorongnya untuk terus
kuat. Selama ini hanya mamanya yang tahu bagaimana perasaan Syifa terutama
sejak kecelakaan beberapa tahun lalu. Saat perjalanan pulang dari liburan tiga
tahun lalu. Sesuatu yang tidak terduga terjadi. Mobil yang dikendarai oleh
keluarga Syifa mengalami tabrakan dengan mobil lain. Pada akhirnya menyisakan
duka dengan meninggalnya papa Syifa dan tidak bisanya Syifa berjalan hingga
saat ini.
Siang itu ketika akhirnya
semua persiapan sudah beres. Syifa sudah berada di dalam mobil milik keluarga Alta.
Kedua keluarga itu sudah saling kenal dekat sejak Alta dan Syifa sering
menghabiskan waktu bersama.
“ Maaf ya om, tante
kalau nanti aku jadi buat repot.” Ucap Syifa dalam perjalanannya.
“ Nggak sama sekali
Syifa. Kami senang kamu bisa ikut liburan.” Seru Mama Alta dari kursi depan
mobil.
Setelah menanti cukup lama
perjalan akhirnya berakhir. Sampailah mereka di tempat tujuan. Sebuah desa yang
masih sangat asri dengan didominasi pemandangan hijau membentang. Di sanalah
mereka akan menghabiskan sisa liburan sekolah yang tinggal beberapa hari lagi
akan berakhir.
Hari mulai gelap saat mereka
sudah sampai. Dengan agak bersusah payah Alta membantu Syifa turun dari mobil
dan duduk kembali di kursi rodanya. Perlahan mereka menyusuri jalan setapak
menuju bukit di atas mereka.
“ Aku berat ya?” Ucap Syifa
sesampainya mereka di puncak bukit.
“ Nggak kok.” Jawab Alta
walau dengan terengah-engah. “ Dari sini bisa lihat ke bawah rumah-rumah penduduk. Dan
yang lebih bagus lagi...”
“ Apa yang lebih bagus?”
“ Liat aja nanti kamu
pasti suka.”
Sinar matahari makin
meredup hingga tidak ada lagi cahaya selain lampu senter yang mereka nyalakan
juga lampu-lampu di setiap rumah yang berada di sekeliling bukit dan di
bawahnya.
Sambil terus bercerita
mereka menghabiskan sisa malam pertama liburan di desa itu. Hingga sesuatu
tertangkap oleh mata Syifa dikejauhan. Seketika mata Syifa berbinar bahagia.
Setelah ia tahu apa yang dimaksud oleh Alta beberapa saat yang lalu. Senyumnya
mengembang dan tubuhnya terpaku menatap cahaya-cahaya kecil yang semakin banyak
dan banyak.
“ Alta, itu apa?” Tanya
Syifa tanpa melepaskan pandangannya dari kilauan cahaya-cahaya kecil dihadapannya.
“ Apa yang kamu suka.”
Jawab Alta juga sambil tersenyum walau ia tau Syifa lebih terfokus pada apa
yang menarik perhatiannya kini.
Cahaya kecil-kecil itu
melayang-layang di udara malam yang semakin dingin dan gelap. Seperti titik-titik
cahaya api yang berterbangan di langit malam. Indah dan menakjubkan. Beberapa saat mereka
tersihir dengan pemandangan indah itu.
“ To ten million fireflies.
I’m weird cause I hate goodbyes. I got misty eyes as they said farewell. But
I’ll know where several are if my dreams get real bizarre. Cause I saved a few
and I keep them in a jar.”
Sambil terus menyayikan lagu
kesukaannya, Syifa terhipnotis dengan ribuan kunang-kunang yang berterbangan dihadapannya.
Ingin
rasanya ia menyentuh mereka dan menari-nari di antara mereka yang berterbangan
itu. Tapi lagi-lagi Syifa merasa itu sangatlah tidak mungkin ia lakukan
sekarang.
Tanpa terasa diam-diam
Syifa mendorong kursi rodanya semakin dekat dengan ribuan kunang-kunang yang
berterbangan. Ia tak sadar jika beberapa meter didepannya sudah menanti tebing
tinggi yang bisa saja membuatnya tergelincir hingga dasar.
“ Syifa!!” Suara
teriakan Alta menggema.
Syifa tersadar tapi
terlambat. Dengan jelas ia melihat betapa dalamnya jurang tebing dihadapannya.
Seketika itu ia tak bisa berkata-kata. Sambil terus menatap ke atas dimana
kunang-kunang itu berterbangan di atasnya juga di sekeliling dirinya membuatnya
sedih merasa ini pertama dan terakhir ia melihat cahaya-cahaya kecil itu didekatnya.
Sekuat tenaga Alta berlari, mengulurkan tangannya dan
meraih Syifa yang tidak juga bergeming. Hingga akhirnya dengan susah payah Alta
mendapatkan tangan Syifa dan menariknya hingga ia terjatuh ke rerumputan yang
dingin.
“ Aduh!!” Teriak Syifa
ketika ia tersadar dirinya sudah tergeletak di atas rerumputan.
“ Syifa, sadar! Kamu
hampir jatuh!” Ucap Alta yang kini duduk bersimpuh disamping Syifa.
Beberapa saat Syifa terdiam.
Ia baru saja tersadar dengan apa yang terjadi. Kalau saja Alta tidak berusaha
sekuat tenaga untuk menariknya mungkin saat ini apa yang ia pikirkan beberapa
saat lalu akan jadi kenyataan.
“ Alta, maafin aku.”
Ucap Syifa, suaranya parau.
“ Udah nggak usah nangis.
Yang penting kamu nggak apa-apa.” Sahut Alta sambil membantu Syifa untuk duduk.
“ Kursi roda aku jatuh. Terus kita turunnya
gimana?” Ucap Syifa sambil menatap Alta bingung.
Sesimpul senyum di wajah
Alta melihat Syifa dengan wajahnya yang lucu. “ Kalau aku sih tinggal jalan
turun kebawah. Kamu tunggu disini aja dulu sampai pagi ya? Nanti aku minta
tolong papa aku untuk gendong kamu turun.”
“ Hah??” Pekik Syifa
Melihat wajah Syifa yang
panik membuat Alta tertawa-tawa sendiri. Walau tidak tega menertawakan Syifa
yang sedang kesusahan tapi ia senang gadis cantik itu baik-baik saja.
Akhirnya malam itu
dengan susah payah Alta menggendong Syifa menuruni bukit hingga sampai ke rumah
penginapan. Walau dengan sesekali Alta harus menurunkan Syifa karena ia tidak
kuat lagi berjalan sambil menggendong Syifa yang ternyata cukup berat baginya.
“ Alta, kamu baik banget sama
aku. Makasih Alta, aku sayang kamu.” Gumam Syifa dalam gendongan Alta. Walau ia tahu
ucapannya takkan terdengar Alta sama sekali.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar