Minggu, 09 November 2014

Kunang-Kunang di Ujung Langit



Warna jingga di langit senja mulai mewarnai hari-hari Syifa dalam lamunannya. Hanya bisa duduk manis di balik jendela kamarnya yang masih terbuka. Udara sejuk sore hari itu menyelusup memasuki kamarnya. Kamar gadis cantik yang masih terlelap dalam angan dan pemikirannya sendiri.
            Dalam kesunyiannya dengan perlahan ia mulai tersadar dari khayalannya. Melirik ke sebuah benda yang tersimpan rapi dipojok kamarnya. Perlahan tapi pasti ia berusaha meraih benda itu dengan satu tangannya. Setelah dapat ia keluarkan benda itu dari tempatnya yang sudah mulai berdebu.
            Sebuah biola sederhana yang ia miliki sejak ia duduk di bangku sekolah menengah pertama tiga tahun lalu. Awal ia mulai menyukai musik dan alunan melodi indah yang tercipta dari sebuah alat musik menarik itu. Tak butuh waktu lama alunan indah yang tercipta dari biola itu menghanyutkannya.
            “ You would not believe your eyes. If ten million fireflies lit up the world as I fell asleep. Cause they fill the open air and leave tear drops everywhere. You’d think me rude but I would just stand and stare.” Dan Syifa pun mulai menyanyi sendiri diiringi alunan nada dari permainan biolanya.
            Tak lama pintu kamarnya terbuka. Seorang wanita separuh baya menatapnya. Seketika itu permainan Syifa berhenti. Tatapannya beralih ke ambang pintu kamarnya yang terbuka.
            “ Mau mama siapin makan malam sekarang sayang?” Ucap wanita separuh baya itu.
            “ Nanti aja bareng sama mama.” Sahut Syifa dari tempat ia duduk.
            Wanita separuh baya itu perlahan mendekat. “ Besok jadi mau main sama Alta?”
            Gadis itu mengangguk. “ Tadi dia udah telpon aku. Besok jam tiga dia mau jemput aku.”
            Wanita separuh baya itu ikut mengangguk. Dibelainya rambut hitam panjang milik anaknya tersayang. Seketika itu wajahnya muram sambil menatap anaknya yang terduduk di kursi. Ada sebuah rasa yang mati-matian wanita itu sembunyikan dari anaknya. Tapi ia tahu usahanya sia-sia.
            “ Mama jangan sedih begitu. Aku baik-baik aja.” Sahut anaknya seakan bisa membaca ekspresi di wajah orangtuanya.
            “ Kalau ada yang bisa mama lakukan untuk kamu.” Suaranya mulai parau. “ Apapun itu untuk buat kamu selalu merasa senang.”
            Syifa tersenyum, “ Selama mama ada di samping aku, aku akan selalu merasa seneng. Karena cuma mama yang ngerti aku.”
            Satu pelukkan mengakhiri percakapan itu. Perlahan wanita separuh baya itu meninggalkan kamar anak gadisnya dengan setetes air mata yang berusaha ia sembunyikan. Dalam kediamannya Syifa sama sedihnya dengan mamanya. Tapi ia tahu kalau ia sedih mamanya pasti lebih sedih darinya.

                                                            *           *           *

            Tepat pukul tiga sore seperti janji yang sudah disepakati sebelumnya. Alta atau bisa di sebut sebagai teman setia Syifa sejak awal SMP berjanji untuk menemani Syifa menghabiskan sisa sorenya hari ini.
            “ Hai, sorry lama ya?” Sapa Cowok bertubuh kurus itu pada Syifa
            “ Nggak kok. Kan emang jam tiga kemarin bilangnya.” Sahut Syifa tidak lupa dengan senyum manis di wajahnya.
            “ Biolanya mana?” Tanya Alta.
            “ Ada di belakangku. Taruh disini aja.” Syifa menunjuk kearah pangkuannya.
            Segera Alta berputar menuju belakang kursi Syifa dan mengambil sebuah biola yang tergeletak di sana. Ia letakkan perlahan pada pangkuan Syifa. Sesaat ia melihat berkeliling mencari seseorang yang mungkin bisa ia pamiti sebelum mereka pergi.
            “ Orangtuamu kemana?”
            “ Ada mama mungkin dibelakang. Nggak apa-apa aku udah pamit tadi. Kita jalan sekarang aja.”
            Alta mengangguk mengerti. Perlahan ia kembali memutar kebagian belakang dan berdiri tepat dibelakang kursi yang Syifa duduki atau lebih tepat dengan sebuah kursi roda. Perlahan Alta mendorongnya keluar melewati pintu rumah kemudian pintu pagarnya. Hingga sinar matahari yang masih cukup terik langsung menyambut mereka berdua.
            Selama perjalanan mereka hanya diam. Syifa menikmati pemandangan yang menyejukkan mata. Setidaknya bisa menghilangkan sedikit rasa bosannya dengan rumah. Langkah Alta pun terhenti ketika mereka sudah tiba di sebuah gedung yang tidak terlalu besar dan tak jauh dari rumah.
            “ Masuk ya?” Alta bergumam.
            “ Kenapa Alta?” Syifa heran melihat tingkah Alta yang tidak juga masuk kedalam gedung yang sudah berada tepat dihadapan mereka.
            “ Hm, nggak apa-apa kok.”
            Perlahan Alta mulai mendorong kursi rodanya lagi melewati pintu yang terbuka lebar. Seketika itu juga pandangan berubah. Di hadapan mereka sudah berdiri sekitar dua puluh orang yang semuanya membawa alat musiknya masing-masing.
            “ Wah, rame ya Alta.” Seru Syifa girang melihat banyak orang di ruangan itu.
            “ Iya kan lagi libur jadi banyak yang latihan.” Sahut Alta.
            Sampailah mereka di kursi peserta. Alta memberhentikan Syifa sedikit kebelakang takut mengganggu jalan pikir Alta. Setelah ia merasa aman ia berjalan menjauhi Syifa dan mulai berkumpul dengan teman-temannya yang lain.
            “ Lo bawa siapa?” Tanya seorang teman Alta
            “ Itu temen gue. Syifa namanya. Dia mau ikut latihan disini.”
            Serentak mata-mata yang penasaran itu langsung menatap ke arah Syifa. Seketika itu Syifa merasa gugup karena diperhatikan oleh hampir sebagian orang yang berada di ruangan. Dengan agak kaku Syifa membalas tatapan mereka dengan senyum.
            “ Dia mau ikut? Dengan keadaan dia kayak gitu emang bisa?”
            “ Kenapa nggak? Dia cuma nggak bisa jalan. Tapi kedua tangannya masih lengkap.” Sahut Alta sedikit sewot. “ Lagipula permainan dia lebih baik daripada kalian.”
            Serentak semua yang mendengar perkataan Alta tertawa. Sambil sesekali mereka melirik sinis pada Syifa yang terduduk di kursi rodanya yang agak jauh dibelakang. Entah hanya sebuah spontanitas atau memang niatan orang-orang itu untuk meledek. Satu dari mereka berjalan mendekati Syifa.
            “ Lo mau ikut di sini? Kayaknya pelatih harus siapin tempat khusus buat lo.”
            “ Kenapa harus khusus?”
            “ Karena lo beda dari yang lain.” Ucapnya sambil melirik ke arah kaki Syifa.
            Syifa yang mulai sadar dengan perlakuan salah satu teman Alta mulai merasa rendah. Seakan ia mulai sadar bahwa ia memang tidak pantas berada di sini. Di tempat yang hanya berisi orang-orang yang berpenampilan luar biasa dengan kesempurnaan dan talentanya, tidak untuk dirinya.
            “ Jangan didenger Syifa. Mereka cuma takut tersaingi sama kamu.” Alta menengahi.
            Untung saja pelatih musik segera datang dan setidaknya mencegah terjadinya perkelahian antar siswa. Seketika itu juga suasana langsung mencair ketika pelatih mulai memberikan instruksi yang bertanda latihan akan segera dimulai.
            Satu persatu siswa mulai mencoba memainkan lagu menggunakan alat musik mereka masing-masing termasuk Syifa siswa baru di ruangan itu. Setelah semua mendapat giliran pelatih memerintahkan mereka untuk memainkannya bersama. Hingga waktu menunjukkan pukul lima sore latihan itupun dihentikan.
            “ Saya senang ada teman baru kita yang sangat berbakat.” Ucap bu Alinda pelatih khusus biola. “ Semoga Syifa betah disini dan bisa menjadi pemain biola yang semakin hebat.”
            “ Iya bu. Terima kasih.”
                                                              
                                                                        *           *           *

            Di waktu senja yang manis Syifa terduduk di kursinya memandang ke langit lepas. Matahari sudah mulai meredupkan sinarnya dan beralih dengan bulan. Angin dingin juga sudah mulai menyelimutinya ditemani teman setianya Alta.
            “ Bulannya mulai muncul tuh.” Seru Syifa sambil menunjuk ke atas
            “ Iya, tapi nggak ada bintangnya.”
            “ Hahaha.. aku nggak berharap ada bintang Alta. Aku berharap ada keajaiban.”
            Sontak Alta menoleh pada gadis di sampingnya. “ Keajaiban untuk apa?”
            “ Keajaiban aku bisa menari-nari bareng kunang-kunang.”
            Alta terdiam. Ia menatap Syifa dengan sedikit lesu. Andai ada yang bisa ia lakukan untuk membuatnya merasa lebih baik. Kecelakaan yang menimpa Syifa beberapa tahun yang lalu membuat gadis itu tidak bisa melangkahkan kakinya lagi di jalan aspal yang berdebu ataupun rerumputan hijau yang basah karena embun.
            “ Syifa, kamu suka kunang-kunang?”
            “ Iya, walau aku belum pernah melihatnya secara langsung.”
            “ Gimana kamu bisa suka kunang-kunang padahal belum pernah liat?” Alta sedikit bingung.
            Syifa hanya tertawa senang. Tatapannya beralih pada langit gelap  “ Kamu liat langitnya? Itu gelap banget kan ya? Kalau bintang itu nggak ada tapi ada kunang-kunang yang menari-nari di atas sana apa langitnya akan tetep segelap itu?”
            Alta menatap gadis yang berada disampingnya. “ Mungkin nggak. Tapi di sini kan nggak ada kunang-kunang jadi tetep gelap.”
            Syifa mengangguk. “ Kalau gitu aku nggak akan bisa nari bareng mereka.”
            Walau rasanya begitu sakit mendengar kata-kata Syifa. Entah kenapa rasanya tidak enak sekali ketika Syifa terus menerus mengatakan hal yang sepertinya tidak mungkin ia lakukan sekarang dan suatu saat nanti.
            “ Mau mainin sebuah lagu nggak?” Tiba-tiba Syifa sudah bersiap dengan biola ditangannya.
            “ Lagu apa?”
            “ Lagu yang selalu buat aku merasa ada harapan dan keajaiban.” Ucap Syifa kemudian ia mulai memainkan lagu.
            Irama lembut dari senar-senar biola yang digesek menggema disekeliling mereka berdua. Entah sudah berapa puluh bahkan ratusan kali Syifa memainkan lagu ini sendiri dalam kamarnya. Sambil terus memainkan biolanya ia bernyanyi..
            “ Cause I’d get a thousand hugs from ten thousand lightning bugs. As they tried to teach me how to dance. A foxtrot above my head. A sock hop beneath my bed. The disco ball is just hanging by a thread. I’d like to make myself believe that planet Earth turns slowly. It’s hard to say that I’d rather stay awake when I’m asleep. Cause everything is never as it seems.”

                                                                        *           *           *

“ Sedikit hiburan untuk kamu.” Ucap wanita separuh baya, mama Syifa.
Gadis cantik yang berada disisinya masih terdiam. Dalam hati ingin sekali mengikuti saran orangtuanya untuk sekedar melihat dunia luar yang belum pernah ia lihat. Tapi satu sisi juga ia merasa ia tidak sanggup untuk melakukannya sekarang.
“ Tapi, bukannya nanti aku cuma buat susah Alta aja?”
“ Kenapa harus susah?”
“ Iya, karena aku begini.” Ucap Syifa sambil merunduk.
“ Jangan selalu merendahkan diri kamu sayang. Kamu kuat kan? Kamu hebat.”
Pada akhirnya Syifa bisa tersenyum walau agak sulit tapi sedikit ada rasa yang mendorongnya untuk terus kuat. Selama ini hanya mamanya yang tahu bagaimana perasaan Syifa terutama sejak kecelakaan beberapa tahun lalu. Saat perjalanan pulang dari liburan tiga tahun lalu. Sesuatu yang tidak terduga terjadi. Mobil yang dikendarai oleh keluarga Syifa mengalami tabrakan dengan mobil lain. Pada akhirnya menyisakan duka dengan meninggalnya papa Syifa dan tidak bisanya Syifa berjalan hingga saat ini.
Siang itu ketika akhirnya semua persiapan sudah beres. Syifa sudah berada di dalam mobil milik keluarga Alta. Kedua keluarga itu sudah saling kenal dekat sejak Alta dan Syifa sering menghabiskan waktu bersama.
“ Maaf ya om, tante kalau nanti aku jadi buat repot.” Ucap Syifa dalam perjalanannya.
“ Nggak sama sekali Syifa. Kami senang kamu bisa ikut liburan.” Seru Mama Alta dari kursi depan mobil.
Setelah menanti cukup lama perjalan akhirnya berakhir. Sampailah mereka di tempat tujuan. Sebuah desa yang masih sangat asri dengan didominasi pemandangan hijau membentang. Di sanalah mereka akan menghabiskan sisa liburan sekolah yang tinggal beberapa hari lagi akan berakhir.
Hari mulai gelap saat mereka sudah sampai. Dengan agak bersusah payah Alta membantu Syifa turun dari mobil dan duduk kembali di kursi rodanya. Perlahan mereka menyusuri jalan setapak menuju bukit di atas mereka.
“ Aku berat ya?” Ucap Syifa sesampainya mereka di puncak bukit.
“ Nggak kok.” Jawab Alta walau dengan terengah-engah. “ Dari sini bisa lihat ke bawah rumah-rumah penduduk. Dan yang lebih bagus lagi...”
“ Apa yang lebih bagus?”
“ Liat aja nanti kamu pasti suka.”
Sinar matahari makin meredup hingga tidak ada lagi cahaya selain lampu senter yang mereka nyalakan juga lampu-lampu di setiap rumah yang berada di sekeliling bukit dan di bawahnya.
Sambil terus bercerita mereka menghabiskan sisa malam pertama liburan di desa itu. Hingga sesuatu tertangkap oleh mata Syifa dikejauhan. Seketika mata Syifa berbinar bahagia. Setelah ia tahu apa yang dimaksud oleh Alta beberapa saat yang lalu. Senyumnya mengembang dan tubuhnya terpaku menatap cahaya-cahaya kecil yang semakin banyak dan banyak.
“ Alta, itu apa?” Tanya Syifa tanpa melepaskan pandangannya dari kilauan cahaya-cahaya kecil dihadapannya.
“ Apa yang kamu suka.” Jawab Alta juga sambil tersenyum walau ia tau Syifa lebih terfokus pada apa yang menarik perhatiannya kini.
Cahaya kecil-kecil itu melayang-layang di udara malam yang semakin dingin dan gelap. Seperti titik-titik cahaya api yang berterbangan di langit malam. Indah dan menakjubkan. Beberapa saat mereka tersihir dengan pemandangan indah itu.
“ To ten million fireflies. I’m weird cause I hate goodbyes. I got misty eyes as they said farewell. But I’ll know where several are if my dreams get real bizarre. Cause I saved a few and I keep them in a jar.”
Sambil terus menyayikan lagu kesukaannya, Syifa terhipnotis dengan ribuan kunang-kunang yang berterbangan dihadapannya. Ingin rasanya ia menyentuh mereka dan menari-nari di antara mereka yang berterbangan itu. Tapi lagi-lagi Syifa merasa itu sangatlah tidak mungkin ia lakukan sekarang.
Tanpa terasa diam-diam Syifa mendorong kursi rodanya semakin dekat dengan ribuan kunang-kunang yang berterbangan. Ia tak sadar jika beberapa meter didepannya sudah menanti tebing tinggi yang bisa saja membuatnya tergelincir hingga dasar.
“ Syifa!!” Suara teriakan Alta menggema.
Syifa tersadar tapi terlambat. Dengan jelas ia melihat betapa dalamnya jurang tebing dihadapannya. Seketika itu ia tak bisa berkata-kata. Sambil terus menatap ke atas dimana kunang-kunang itu berterbangan di atasnya juga di sekeliling dirinya membuatnya sedih merasa ini pertama dan terakhir ia melihat cahaya-cahaya kecil itu didekatnya.
 Sekuat tenaga Alta berlari, mengulurkan tangannya dan meraih Syifa yang tidak juga bergeming. Hingga akhirnya dengan susah payah Alta mendapatkan tangan Syifa dan menariknya hingga ia terjatuh ke rerumputan yang dingin.
“ Aduh!!” Teriak Syifa ketika ia tersadar dirinya sudah tergeletak di atas rerumputan.
“ Syifa, sadar! Kamu hampir jatuh!” Ucap Alta yang kini duduk bersimpuh disamping Syifa.
Beberapa saat Syifa terdiam. Ia baru saja tersadar dengan apa yang terjadi. Kalau saja Alta tidak berusaha sekuat tenaga untuk menariknya mungkin saat ini apa yang ia pikirkan beberapa saat lalu akan jadi kenyataan.
“ Alta, maafin aku.” Ucap Syifa, suaranya parau.
“ Udah nggak usah nangis. Yang penting kamu nggak apa-apa.” Sahut Alta sambil membantu Syifa untuk duduk.
“ Kursi roda aku jatuh. Terus kita turunnya gimana?” Ucap Syifa sambil menatap Alta bingung.
Sesimpul senyum di wajah Alta melihat Syifa dengan wajahnya yang lucu. “ Kalau aku sih tinggal jalan turun kebawah. Kamu tunggu disini aja dulu sampai pagi ya? Nanti aku minta tolong papa aku untuk gendong kamu turun.”
“ Hah??” Pekik Syifa
Melihat wajah Syifa yang panik membuat Alta tertawa-tawa sendiri. Walau tidak tega menertawakan Syifa yang sedang kesusahan tapi ia senang gadis cantik itu baik-baik saja.
Akhirnya malam itu dengan susah payah Alta menggendong Syifa menuruni bukit hingga sampai ke rumah penginapan. Walau dengan sesekali Alta harus menurunkan Syifa karena ia tidak kuat lagi berjalan sambil menggendong Syifa yang ternyata cukup berat baginya.
“ Alta, kamu baik banget sama aku. Makasih Alta, aku sayang kamu.” Gumam Syifa dalam gendongan Alta. Walau ia tahu ucapannya takkan terdengar Alta sama sekali.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar